Perubahan Iklim, Bahaya Gitu?

Percayalah untuk memahami isu ini, dongeng jauh lebih efektif dibandingkan usaha edukasi yang lengkap dengan data dan dampaknya!

Ada alasan peradaban ini mewariskan dongeng dari masa ke masa. Meskipun budaya tulis telah ada sejak ribuan tahun lalu, hal tersebut hanya bersifat informasi yang menyentuh pikiran manusia. Sedangkan, kita ini adalah makhluk emosi yang bergerak dengan rasa dan hasrat.

Untuk motivasinya bangkkit, manusia harus disentuh setidakknya dari salah satu sisi ketakutan (fear) atau harapan (hope). Biasanya sih, ketakutan lebih efektif menyadarkan manusia. Lihat saja kitab suci berbagai agama, lebih banyak ancaman dibandingkan janji manis untuk kehidupan berikutnya kan? Haha.

Coba saja bila kita “rasakan” kalimat antara:

“Perubahan iklim yang menaikkan suhu dunia sekitar satu derajat celcius, bisa memusnahkan sebagian besar biota laut yang berbahaya bagi manusia”.

Dibandingkan dengan:

“Bila kita terus-terusan pakai plastik, pas hari tua nanti kita gak bisa minum air bersih lho!”

Bisa dipastikan yang kedua ini gak kuliah, gak jelas, namun lebih “seram” bagi manusia apalagi yang awam dengan dampak perubahan iklim. Ditambah, bukti-bukti perubahan iklim itu sendiri masih belum terasa ddi tingkatan yang bikin kapok masyarakat dunia secara luas.

Memang lucu sih ya, di satu sisi agar peradaban maju kita perlu berbicara dengan data dan fakta. Kalau bisa, selain data dan fakta kita menjelaskan hubungan kausalitas dampak positif dan negatif yang bisa diakibatkan bagi peradaban. Namun, manusia pada dasarnya makhluk perasa yang hanya bisa bergerak dengan “fear” dan “hope” sih ya.

Apa boleh buat toh? Hehe.

---

Referensi: Hilary Byerly, Paul J. Ferraro, Tongzhe Li, Kent D. Messer, Collin Weigel. A story induces greater environmental contributions than scientific information among liberals but not conservatives. One Earth, 2021; 4 (4): 545 DOI: 10.1016/j.oneear.2021.03.004